Cerita Pedagang Pasar Loak Barangnya Sampai Diburu Buat Properti Film

Cerita Pedagang Pasar Loak Barangnya Sampai Diburu Buat Properti Film

Rangka Narasi — Tidak semua orang menyangka bahwa pasar loak, yang selama ini dipandang sederhana dan identik dengan barang bekas, ternyata bisa menjadi sumber perniagaan yang bernilai tinggi hingga masuk ke dunia perfilman. Hal itu dialami oleh Suhadi, seorang pedagang loak di kawasan Pasar Loak Kebayoran Lama, Jakarta, yang kini barang dagangannya banyak diburu oleh tim produksi film layar lebar hingga serial televisi. Berawal dari lapak kecil yang ia kelola sejak tahun 2005, Suhadi kini merasakan perubahan besar dalam usahanya setelah sejumlah tim film menemukan bahwa barang-barang jadulnya memiliki nilai artistik tinggi.

Menurut Suhadi, dunia film membutuhkan detail yang realistis untuk menciptakan suasana sesuai zaman yang digambarkan. Barang-barang seperti radio rusak, kursi rotan tua, mesin tik jadul, poster lawas, hingga koper zaman dahulu menjadi buruan utama. Dari sinilah namanya mulai dikenal di kalangan art director dan penata Properti film, hingga ia acap kali menjadi pemasok set untuk berbagai judul film populer.

Barang Sekadar Rongsokan, Ternyata Bernilai Tinggi di Dunia Film

Suhadi bercerita bahwa dirinya awalnya hanya mengumpulkan barang-barang bekas yang didapat dari rumah penduduk, pembongkaran bangunan, hingga sisa gudang perusahaan. Kebanyakan barang itu dijual dengan harga rendah atau per kilo, tergantung kondisi dan jenis materialnya. Namun dunia perfilman memiliki pandangan yang berbeda. Barang yang ia anggap biasa, bahkan rusak, ternyata justru menjadi aset berharga ketika dibutuhkan untuk menghidupkan atmosfer latar cerita.

“Mesin tik yang tadinya saya jual Rp150 ribu, waktu itu dibeli orang film bisa sampai Rp800 ribu,” ujar Suhadi.

Tidak hanya itu, meja jati tua dan kursi rotan yang dulunya tidak laku dijual sebagai perabot rumah tangga, justru dihargai lebih tinggi oleh tim film karena bentuk dan usianya yang dianggap autentik. Ada pula radio tabung tahun 1970-an yang nyaris dibuang tetapi dibeli oleh tim film untuk menjadi elemen penting dalam set sebuah adegan bernuansa klasik.

Dunia film memang menuntut realisme dan kesesuaian lingkungan cerita. Itulah sebabnya properti harus benar sesuai era yang diceritakan. Di sinilah pasar loak seperti milik Suhadi menjadi sumber harta karun bagi dunia seni peran.

Tim Produksi Film Rutin Datang Melakukan Seleksi Barang

Tidak sedikit film besar yang mengirimkan timnya langsung ke lapak Suhadi. Mereka datang menelusuri barang satu per satu, mencari elemen pendukung cerita yang paling tepat. Setiap detail, mulai dari warna, bentuk, kondisi, hingga usia barang menjadi penilaian penting. Ada kalanya, kata Suhadi, tim film bahkan memesan barang tertentu seperti jam dinding tua, rak buku besi, atau set meja makan jadul untuk kemudian ia carikan di tempat lain.

Biasanya, proses pemilihan dilakukan dengan teliti. Tim film akan mengambil foto barang, melakukan diskusi dengan art director, dan baru memutuskan pembelian setelah mendapatkan persetujuan. Kerja sama ini tidak hanya berlangsung satu kali, melainkan terus berlanjut hingga Suhadi menjadi salah satu pemasok tetap bagi beberapa rumah produksi. Bahkan ia mengaku pernah diminta khusus menyediakan perabot lengkap untuk sebuah film yang mengangkat cerita Jakarta tahun 1980-an.

Pendapatan Meningkat Drastis, Rezeki Datang Tanpa Diduga

Suhadi mengakui bahwa sejak melayani kebutuhan properti film, pendapatannya meningkat tajam. Sebelumnya ia hanya mengandalkan penjualan harian dengan margin tipis. Namun ketika produk loak memasuki pasar industri kreatif, nilai jualnya meningkat berkali lipat. Tidak jarang, satu barang saja bisa terjual dengan harga yang melebihi pendapatan hariannya sebelum ia dikenal oleh dunia film.

Meski begitu, Suhadi tetap rendah hati. Ia menganggap keberuntungan ini bagian dari rezeki yang datang berkat kesabaran dan ketekunan mengumpulkan barang loak selama bertahun-tahun. Ia menyadari bahwa perubahan tren pasar menjadi bagian penting dari perkembangan usaha.

“Kalau orang dulu maunya barang baru, sekarang justru barang tua yang dicari,” ucapnya sambil tersenyum.

Keberhasilan ini juga membawa dampak bagi pedagang loak lain. Banyak yang kemudian mencoba mencari barang jadul berkualitas untuk dijual kembali. Ada pula yang mulai bekerja sama dalam mencari barang pesanan film, sehingga hubungan antar pedagang menjadi lebih saling menguntungkan.

Perjalanan Panjang Menekuni Usaha Barang Bekas

Sebelum dikenal sebagai pemasok properti film, Suhadi sudah lebih dari 15 tahun menekuni usaha loak. Ia memulai bisnis dari nol, membawa gerobak berkeliling dari kampung ke kampung untuk membeli barang bekas. Ia sering pulang hanya dengan sedikit hasil jualan, namun tetap bertahan karena yakin usaha ini memiliki pasar sendiri.

Perlahan ia mulai membuka lapak permanen yang kini menjadi titik penting dalam usahanya. Perubahan tren pasar dan kebutuhan industri film membuat jerih payah bertahun-tahun terbayar. Dulunya serba manual dan serabutan, kini banyak pesanan datang melalui telepon bahkan media sosial. Ia juga sering diajak berdiskusi mengenai barang atau desain yang cocok untuk kebutuhan produksi, menjadikan profesinya naik kelas dari sekadar pedagang rongsokan menjadi mitra kreatif industri hiburan.

Pesan untuk Kaum Muda Jangan Malu Memulai dari Nol

Dalam banyak kesempatan, Suhadi sering berbagi motivasi kepada generasi muda yang datang membeli barang atau sekadar berbincang. Ia menekankan bahwa pekerjaan apa pun bisa menjadi besar jika dilakukan dengan kesabaran dan kerja keras. Baginya, tidak ada pekerjaan yang hina selama menghasilkan rezeki halal.

Ia juga mendorong anak muda untuk lebih menghargai barang bekas dan melihat peluang bisnis di dalamnya. Di masa sekarang, minat terhadap barang vintage justru meningkat, dan pasar kreatif terus berkembang. Menurutnya, pasar loak menjadi salah satu ruang ekonomi yang potensial karena kreativitas selalu menemukan caranya sendiri untuk berkembang.

Kisah Suhadi menjadi bukti bahwa pasar loak tidak hanya sekadar tempat berjualan barang bekas, tetapi bisa menjadi ruang kreatif yang mendukung industri film dan seni. Barang-barang yang sebelumnya dianggap tidak berharga ternyata mampu memberikan nuansa realistis dalam sebuah karya layar lebar. Perubahan itu mengangkat derajat usaha kecil sekaligus membuka peluang bagi pedagang lain untuk masuk ke dunia kreatif yang terus berkembang.