Rangka Narasi — Hubungan antara China dan Jepang tengah memasuki masa yang sangat tegang. Pemicu utama krisis diplomatik terkini adalah pernyataan Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, yang menyatakan bahwa jika China menyerang Taiwan, Jepang bisa merespons militer.
Pernyataan ini memicu reaksi keras dari Beijing. Kementerian Perdagangan China menuduh Takaichi telah merusak fondasi politik hubungan bilateral dan menyatakan bahwa kerjasama dagang sudah sangat terganggu.
Tak lama setelah itu, China mengirim kapal penjaga pantai ke sekitar Kepulauan Senkaku (disebut China sebagai Kepulauan Diaoyu), wilayah yang sejak lama menjadi sengketa. Situasi diperparah dengan penerbangan drone militer China di dekat wilayah Jepang, meningkatkan risiko konflik militer.
Ketegangan politik ini langsung berdampak ke ranah ekonomi. China merespons konflik dengan langkah-langkah ekonomi, termasuk larangan perjalanan bagi pegawai BUMN ke Jepang, pembatalan tur wisata, dan menunda pertukaran budaya sebuah sinyal kuat bahwa konflik ini juga bersifat ekonomi.
Selain itu, kawasan pariwisata Jepang terancam merugi karena peringatan keamanan dari China bisa mengurangi jumlah wisatawan Tiongkok. Ekonom Jepang menyatakan jika tren ini terus berlangsung, sektor ritel dan pariwisata domestik bisa terpukul berat.
Imbas dari konflik juga terlihat di bursa. Indeks Nikkei 225 di Jepang anjlok signifikan akibat sentimen geopolitik China-Jepang yang memburuk. Bursa Asia lainnya pun mengalami tekanan karena ketidakpastian regional ini.
Tak hanya pemerintah China yang murka, kalangan bisnis Jepang pun mengingatkan bahwa langkah politik Takaichi berisiko mengganggu kerjasama ekonomi bilateral.
Yoshinobu Tsutsui, Ketua Federasi Bisnis Jepang, menyebut dialog konstruktif sangat penting agar keretakan tak merusak hubungan dagang. Takakage Fujita, dari organisasi sipil yang mengingatkan sejarah perang Jepang, menyebut pernyataan PM Takaichi sebagai langkah ceroboh yang berbahaya bagi dunia usaha.
Ekonom dari Universitas Rikkyo juga mengingatkan potensi dampak negatif di sektor pariwisata dan konsumsi: penurunan turis Tiongkok bisa berdampak besar pada konsumsi domestik Jepang, logistik, dan industri jasa pendukung.
Meski situasi menghangat, Beijing tetap menunjukkan niat untuk menjaga konstruktivitas. Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa China siap bekerja sama dengan Jepang demi hubungan sehat, stabil, dan saling menguntungkan di era baru.
Dalam pertemuan di sela APEC, Xi menegaskan pentingnya mempertahankan konsensus politik bilateral dan memperkuat fondasi politik hubungan kedua negara.
Di satu sisi, ada tekanan besar karena faktor militer dan keamanan. Jepang memperkuat pertahanan, bahkan melakukan uji coba misil domestik untuk memperkuat kemampuan militer sebagai respons potensi tekanan dari China.
Di sisi lain, ekonomi China pun menghadapi tantangan. Menurut laporan, Beijing sedang berjuang membangun ketahanan ekonomi di tengah volatilitas global, tekanan tarif, dan fluktuasi pasar.
Ketegangan ini menciptakan dilema besar: apakah Jepang akan melanjutkan retorika keras demi keamanan, meski risiko kerusakan ekonomi semakin nyata? Atau Beijing akan terus menggunakan instrumen ekonomi sebagai alat tekanan diplomatik.
Ada upaya dari ketiga negara besar Asia Timur: China, Jepang, dan Korea Selatan menyatakan komitmen untuk kerja sama berorientasi masa depan, termasuk negosiasi perjanjian perdagangan bebas trilateral. Bahkan, mereka berjanji mempercepat pembahasan FTA trilateral untuk mengatasi fragmentasi ekonomi di kawasan.
Namun, konflik politik yang semakin intens bisa menjadi penghambat kerja sama ekonomi jangka panjang, terutama jika kepercayaan antar negara terus menurun.
Investor global mencermati ketegangan ini dengan serius. Ketidakpastian atas keputusan politik dan risiko ekonomi membuat aliran modal menjadi berhati-hati. Bursa Asia terkena dampaknya, terutama saham Jepang dan China.
Jika konflik terus eskalasi, bukan tidak mungkin investor akan mengalihkan portofolio mereka ke kawasan yang lebih stabil, menekan pertumbuhan perdagangan dan investasi baru antara Jepang dan China.
Kisruh China-Jepang saat ini mencerminkan konflik multidimensional, politik, militer, dan ekonomi saling tumpang tindih dan memperburuk hubungan bilateral. Di satu sisi, Jepang mengambil sikap tegas soal Taiwan dan keamanan regional; di sisi lain, China merespons dengan tekanan diplomatik dan ekonomi yang nyata.
Meskipun ada pernyataan niat baik dari Beijing untuk menjaga stabilitas, retorika keras dari Tokyo dan risiko kerugian ekonomi membuat hubungan kedua negara berada di persimpangan kritis. Jika akar politik tidak diredam, potensi dampak jangka panjang bagi perdagangan, investasi, dan kerja sama regional akan semakin besar.
Investasi jangka panjang, baik dari Jepang maupun China, bisa terhambat. Atau sebaliknya: jika solusi diplomatik tidak segera ditemukan, konflik ini bisa menjadi batu sandungan besar bagi integrasi ekonomi Asia Timur di masa depan.